NarasiTime.id – Walikota Bogor Bima Arya S membuka Lokalatih Mediasi Lintas Iman yang diselenggarakan di Hotel Luminor Baranangsiang Bogor.
Sebanyak 30 orang peserta dari berbagai institusi dan Individu yang peduli mewujudkan Kota Bogor sebagai Kota toleran dan ramah HAM seperti FKUB Kota Bogor, Pendeta, Pengacara, jurnalis, dan penggiat kemasyarakatan lainnya.
Dalam sambutan pengantar, Bima Arya menyampaikan bahwa selama 10 tahun menjabat Walikota ada banyak pembelajaran yang diperoleh.
Ketika mendapatkan pelatihan Leadership Program di Lee Kuan Yuew School bersama puluhan kepala daerah dari Indonesia ada salah satu materi yang terkait dengan mediasi.
Ternyata hal tersebut sudah dipraktekkan selama ini oleh para Kepala Daerah. Hanya saja itu berdasarkan pengalaman empiris.
Berbeda dengan pelatihan yang mediator, teori diberikan terlebih dahulu sambil kemudian berlatih.
Bima Arya menekankan bahwa proses yang penting bagi proses mediasi yang dilakukan oleh para mediator adalah identifikasi permasalahan.
Penting karena ada banyak kasus yang secara yuridis formal sudah siap, namun tidak selesai di lapangan.
Lokakarya ini diselenggarakan oleh PUSAD Paramadina bekerjasama dengan Pusat Mediasi Nasional dengan dukungan pendanaan dari Pemkot Kota Bogor.
Para peserta akan dilatih selama 40 jam atau selama lima hari.
Fahmi Shahab Direktur Eksekutif PMN menyampaikan bahwa pelatihan ini bertujuan untuk mencetak mediator di dunia konflik sekitar keagamaan.
Pria yang juga menjabat sebagai Sekjen APCAM sebuah lembaga Arbitrase dan Mediasi di tingkat ASIA. Lembaga yang mengurusi sengketa bisnis internasional di luar pengadilan.
Trend kebutuhan mediator meningkat yang hibrid antara mediasi dan arbitrase.
Husni Mubarok, Wakil Direktur PUSAD Paramadina dalam pidato sambutan menyampaikan bahwa hasil penelitian dari Saiful Mujani Centre tahun 2019 menuliskan 53 persen masyarakat Indonesia keberatan dengan pendirian rumah ibadah.
Di lain pihak proses mediasi yang dilakukan belum mencerminkan prinsip-prinsip mediasi dilaksanakan dengan benar.
Husni menekankan bahwa alasan di atas adalah latar belakang lokalatih mediasi ini perlu diselenggarakan di Bogor yang tercatat beberapa tahun terakhir ini mengalami konflik keagamaan.
Terutama persoalan pendirian rumah ibadah. Pelatihan ini diharapkan bisa mendorong menyelesaikan konflik melalui pilihan jalur selain pengadilan.
Peserta pelatihan ini, Sutanandika dari Pusat Kajian Kebijakan Publica Indonesia menyampaikan bahwa di dunia yang semakin kompleks ini potensi konflik semakin meningkat.
Masyarakat yang semakin majemuk juga bisa memperuncing perbedaan yang ada. Untuk itu dia merasa kemampuan melakukan mediasi sangat perlu dikuasai.
Pria yang berprofesi sebagai guru ini menambahkan bahwa sekolah pun ruang yang rawan konflik tertutup maupun terbuka. Sehingga profesi guru sebagai pendidik sebaiknya juga memiliki
kemampuan mediasi yang mumpuni secara teoritis dan praktik. Lebih baik lagi jika kemampuan ini ditunjang dengan sertifikat yang akan diperoleh jika lulus lokalatih ini.
Sebagai penggiat lingkungan di Cisadane Resik, ia juga memperkirakan konflik penguasaan tanah di pegunungan Salak dan Pangrango akan meningkat.
“KEK Lido seluas 1300 hektar bisa menimbulkan potensi konflik multisektoral. Begitu pula wilayah garapan di Gunung Salak. Di tahun 2023 pernah terjadi saling bacok antara penggarap lahan HGU. Peran mediator sebagai alternatif penyelesaian konflik menjadi diperlukan,” kata dia. (*)